Selasa, 20 Maret 2012

TULISAN

TULISAN

 

Pohon Di Tengah Alun- alun

“Bu, dulu sewaktu aku kecil Ibu sering sekali membawaku pergi ke alun-alun memetik daun asam, mengumpulkan buahnya, dan sesekali mengerat kulit kayunya. Apakah Ibu ingat itu?”

Ibunya tersenyum dan mengelus kepalanya yang berada dekat dengan pangkuan.

“Tentu Ibu ingat. Apa yang ingin engkau tanyakan sebenarnya?”

Dengan menghela nafas panjang dan berat, dia menanyakan hal yang bertahun-tahun disimpan.

“Mengapa Ibu selalu menangis dan juga marah setiap kali kita ke sana? Kenangan apakah yang sebenarnya Ibu simpan?”

+++

Semenjak Ibunya tak pernah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi antara Ibunya dengan pohon asam gelugur di tengah alun-alun, dia tak pernah lagi bertanya. Hanya pada suatu reuni dengan teman-teman sekolahnya, dia bertemu Karman yang kini menjabat Sekretaris Daerah.

Dia yang kaget dengan penataan alun-alun kotanya itu mendapat penjelasan bahwa pohon asam gelugur itu sudah ditebang dan diganti dengan sebuah tugu berbentuk runcing yang menggambarkan keteguhan dan perjuangan untuk meraih cita-cita yang lebih baik.

“Oh. Pohon asam itu terlalu banyak menyimpan cerita pahit,” Jelas Karman ketika dia menanyakan alasan penebangan pohon itu.

“Memang cerita macam apa sehingga warga kota tak menginginkan pohon itu tidak perlu lagi ada di tengah alun-alun?” Dia tampak ingin menuntaskan rasa penasaran yang sekian lama bercokol itu.

“Kau pernah mendengar hukum picis, bukan? Seseorang yang dinyatakan bersalah disayat kulitnya dan pada lukanya itu diteteskan cairan dari buah asam. Dulu, pohon itu menjadi terkenal gara-gara seorang perampok besar menemui hari sialnya. Dia ditangkap dan ramai-ramai warga menghukumnya. Setiap orang menyayat kulitnya dan menyiramnya dengan cairan buah asam. Dia menemui ajal dengan tubuh hampir seluruhnya terkelupas kulitnya.”

“Perampok besar? Siapa namanya?”

“Orang-orang menyebutnya Man Jaha.”
Mendengar nama itu, dia menjadi sangat maklum mengapa kakeknya tak pernah mau bicara dengan ibu dan dirinya. Terlebih, dia pun kini bisa merasakan kesedihan dan kemarahan yang sama dengan ibunya jika dia mengingat pohon asam di tengah alun-alun itu. Untunglah, kini pohon asam itu sudah tidak ada lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar